Kamis, 06 September 2007

Persaingan memacu perubahan

Persaingan memacu perubahan
Oleh Roesanto [1]


Merambahnya hypermarket Carrefour, membuat gerah banyak pihak. Sampai sampai beberapa petinggi Indonesia, menghibau agar pemerintah segera membuat peraturan untuk memproteksi “pasar tradisional”. Tampaknya mereka tidak relajar dari pengalaman selama ini.
Rasanya, pebisnis – besar dan kecil – tak membutuhkan proteksi. Mereka lebih menginginkan pola pemerintahan “yang bersih” dari segala bentuk “korupsi”. Banyak petinggi negeri, harusnya langsung melihat dilapangan, apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut pengamatan secara acak – berdasarkan observasi, beberapa dialog dan pemantauan dilapngan – tampak jelas bahwa perkembangan pasar tradisioanal terhambat oleh ulah para penguasa setempat – baik formal maupun non formal. Apabila, pasar tradisional di “manage” dengan gaya Carrefour, saya percaya mereka bisa bersaing. Masalahnya pasar tradisional, hanya di-manage se-adanya. Bahkan kerap di obok-obok oleh penguasa setempat – melalui berbagai pungutan.
Coba kita cermati, perbedaan perlakuan hypermarket dengan pasar tradisional berikut, maka kita akan mulai melihat dimana akar permasalahanya.

Pasar Tradisional
Hypermarket
· Pedagang dipungut sewa tempat atau beli tempat dagang. Untuk pasar ukuran kecil, harga beli tempat dagang bisa mencapai puluhan juta – tergantung luasnya.
· Setiap hari dikutip biaya kebersihan, kemananan dsb. bisa mencapai Rp. 5.000,- sampai Rp. 20.000,-.
· Tempat dagang tak teratur, kotor, bau dan kurang nyaman.
· Mereka berdagang mulai jam 05.00 – 11.00 WIB – tanpa di manage dengan baik.
· Pihak penguasa tidak me-manage pasar tradisional – mereka membiarkan kegiatan pasar secara alami – namun ikut mengambil desempatan demi kepentingan pribadi
· Untuk memasukkan produk di hypermarket, setiap pemasok dikenakan (1) Listing fee – sekitar Rp.3 – 4 jutaan. (2) Biaya space di góndola per SKU atau stock keeping unit sekitar Rp.2.000,- per periode tertentu.
· Aktivitas bisnis hypermarket mulai jam 10.00 – 22.00 WIB – bahkan terkadang di waktu tertentu bisa sampai jam 24.00 WIB.
· Tempat dagang bersih, aman, rapi dan menyenangkan serta di manage dengan baik.
· Dibantu dengan berbagai promosi setiap hari sebagai “traffic builder” untuk meningkatkan jumlah consumen datang ke hypermarket.

Bagaimana mungkin pasar tradisional bisa bersaing dengan baik, kalau aktivitas mereka tidak diberi pendukung apa-apa, malah menjadi lahan atau “sapi perah” banyak pihak yang merasa memiliki kekuasaan di-area pasar tersebut. Sementara hypermarket di manage dengan rapi dengan memperhatikan kepentingan konsumen dan pemasok. Sebab kepentingan mereka bersama hypermarket telah saling memberikan “benefit” demi kemajuan bersama.
Harus disadari bahwa persaingan telah membuat bisnis semakin efisien. Sebaliknya proteksi, membuat kegiatan bisnis ataupun manajemen justru makin tidak efisien. Coba kita simak saja aktivitas layanan KA Parahyangan atau Argo Bromo yang melayani trayek Yakarta Bandung pulang pergi. Karena di proteksi atau diatur oleh pemerintah, Perumka tidak sigap menghadapi persaingan tarnsportasi Jakarta Bandung dan sebaliknya dengan dioperasikannya Jalan Tol Cipularang.
Penumpang KA Parahyangan dan Argo Bromo, bisa menurun sekitar 60% termakan oleh layanan travel Yakarta Bandung PP dari Xtrans, Cipaganti dan Baraya misalnya. Demikian juga layanan paket antaran PT Pos Indonesia untuk Jakarta Bandung, bisa banyak termakan oleh layanan travel.
Perhatian juga, semua layanan perusahaan yang diproteksi apakah mampu bersaing dengan yang lain. Bagaimana layanan jalan toll, tanpa meningkatkan kualitas layanan, langsung menaikkan harga, seolah itu hak mereka.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 48 ayat 3, menyatakan bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif jalan tol dilakukan 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi. Namun, justru regulasi semacam inilah yang layak disebut sebagai bentuk legalisasi pemerasan, karena lebih merupakan bentuk kolusi tripartit antara pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pengelola atau bahkan investor jalan tol (Tempointeraktif, 2007).[2]
Joko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum, menandaskan bahwa besaran kenaikan tarif tol bergantung pada data inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kalau inflasi 20 persen, ya, tarif jalan tol naik 20 persen. Kenaikan tarif jalan tol sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan karena tarif tol di Indonesia paling murah di dunia.
Mengapa kenaikan tersebut, menuai banyak protes? Masyarakat Semarang merasakan sudah banyak membayar pajak STNK, namun layanan pemerintah semakin amburadul. Jalan makin macet. Tol pun bukan lagi sebagai jalan bebas hambatan tetapai jalan Tol alias “terus ora lancar”. Inilah salah satu contoh lagi, bahwa proteksi, membuat kita terlena bahwa persaingan saat ini menuntut kualitas layanan yang harus semakin baik.
Dalam menghadapi persaingan yang makin kompleks, kita harus mengubah diri dan beradaptasi dengan perubahan. Tanpa keberanian untuk berubah, pilihannya hanya ketinggalan pesaing dan tidak mampu bertahan. (Jakarta, Sepetember 12, 2007).



[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] Tempo interaktif (2007): “Tragedi Regulasi Jalan Tol”; Tempo Interaktif, Rabu, 04 Juli 2007 10:42 WIB

Tidak ada komentar: