Rabu, 19 September 2007

Teamwork diperlukan dalam menangani penugasan kompleks

Teamwork diperlukan dalam menangani penugasan
Oleh Roesanto [1]


Tim “Capital Edge Corporation” dan “Excel Corporation” ditugasi membuat materi pelatihan untuk intitusi pendidikan “The Learning Annex”. Mereka harus menyiapkan materi pelatihan secara team. Mengingat cakupan materi pelatihan harus berorientasi pada konsep terapan yang membutuhkan dukungan kerjasama lintas-fungsi. Tujuannya agar materi dan pemaparannya bisa dilakukan secara terintegrasi melalui diskusi interaktif dengan audience.
Dengan diterapkannya sistem tekhnologi informasi, akan memudahkan para pendidik untuk mengembangkan aktivitas kerjasama tim lintas-fungsi dalam menyiapkan pelatihan yang semakin kompleks. Mereka harus bisa menggali konsep pelatihan ditinjau dari berbagai sudut pandang untuk memudahkan audience untuk mencera esensi pelatihan.
Harus disadari bahwa dalam kegiatan kejasama team secara lintas-fungsi, pasti akan muncul beragam faktor yang bisa mempengaruhi rasa-puas atau ketidak-puasan anggauta team serta audience. Dari hasil penelitian, ternate ada sekitar 9 (Sembilan) faktor yang mempengaruhi persepsi rasa puas dalam kegiatan kerjasama team, yakni (Napier & Johnson, 2007, p.39-49): [2]

Team spirit
Work ethic
Equal contribution of team members.
Communication.
Exceptional team contribution
Technical skills
Project management skills, and
Technical resources

Sementara yang bisa mempengaruhi persepsi rasa ketidak-puasan atas pola kerjasama team, ada 7 (tujuh) faktor, berikut (Napier & Johnson, 2007, p.39-49):

Lack of participation
Inferior technical skills
Poor communication
Unbalanced contributions
Lack of team spirit
Poor work ethic, and
Inadequate technical resources


Perlunya teamwok untuk memantapkan pemaparan materi

Perkembangan sektor bisnis sekarang ini menuntut Perguruan Tinggi untuk mampu menyiapkan mahasiswa mereka agar menjadi “team players” yang efektif. Sebab selama ini, kelemahan utama para lulusan Perguruan Tinggi terletak pada “interpersonal skills”. Mereka cenderung memiliki “silo mentality” sebagai konsekuensi logis, proses pembelajaran berdasarkan Program Studi yang mengacu pada penguasaan ketermapilan fungisonal secara mendalam. Sementara di lapangan, sangat dibutuhkan proses operasional yang berlandaskan pada pola kerjasama lintas-fungsi yang lebih terintegrasi.
Kini Perguruan Tinggi harus merensponsnya dengan memanfaatkan beragam bentuk “active learning” yang berbeda-beda sebagai metode untuk lebih memantapkan “teamwork” dan meningkatkan proses pembelajaran mahasiswa. Inisiatif ini diharapkan bisa membuka wawasan dan meningkatkan kemampan mahasiswa dalam meningkatkan “interpersonal skills” mereka (Ruiz Ulloa & Adams, 2004, p.145). [3]
Melalui teamwork, materi pelatihan akan gampang disiapkan secara padu. Ini memudahkan pemaparan dan presentasi materi tersebut. Melalui presentasi yang baik, pelatihan akan lebih mudah dipahami semua audience. Sebab presentasi, pada dasarnya merupakan “proses dialog kreatif” tentang suatu materi “menarik”. Harus disampaikan dengan “jelas, atraktif”. Bisa mengungkapkan “topik bahasan” berdasarkan fakta realita agar “memberikan manfaat” optimal bagi audience.
Faktor pendukung yang bisa mendasari keberhasilan dalam presentasi yang menarik atensi audience:

Datang lebih awal untuk meyakini bahwa semua sarana pendukung telah disiapkan dengan baik. Apakah kursi tersedia cukup bagi audience? Sampai dimana sarana pendukung presentasi “LCD, Laptop, OHP, layar” sudah tersedia dan siap digunakan. Materi handouts, sudah tersedia sesuai jumlah audience?
Awali presentasi dengan mengenalkan jati diri, materi yang akan dibahas serta mengapa materi tersebut, penting bagi audience.
Usahakan presentasi mengacu pada proses dialog agar proses Tanya jawab dengan audience berjalan lancar dan baik.
Lakukan presentasi dengan antusias, penuh senyum, dan bisa menumbuhkan proses interaksi aktif dengan audience.
Berperilaku benar untuk menciptakan citra positip, mencakup (1) Sikap positip. (2) Kualitas suara, jelas dengan nada yang enak disimak. (3) Gerak tubuh yang santai bersemangat.

Tekhnik presentasi yang bisa menjamin cara menyampaikan materi bahasan secara atraktif:

1. Sediakan waktu untuk mempersiapkan materi presentasi dengan baik. Untuk mendiskusikan materi dalam 1 (satu) jam presentasi, membutuhkan minimal 4 (empat) jam waktu mempersiapkannya.
2. Be yourself. Tangan mencoba meniru gaya presentasi orang lain.
3. Siapkan materi dalam “power point” secara ringkas, jelas, menarik atensi dan mudah dicerna.
4. Tulis “key message” yang ingin disampaikan. Jangan terlalu banyak gambar, grafik, kosakata yang justru bisa mengganggu konsentrasi audience.

Tip yang bisa digunakan untuk memperbaiki cara presentasi atau memberi kuliah yang baik dengan menjalamkan PERFORM berikut:

Presentasi untuk kepentingan audience – mahaiswa. Lakukan presentasi yang memberikan benefit optimal yang bisa menumbuhkan dinamika proses berpikir, proses belajar dengan aktif.
Eksplorasi beragam presentasi yang menarik atensi serta menggugah semangat belajar. Kita bisa memanfatkan tekhnik telaah kasus, mengambil contoh konkret berdasarkan realita ataupun diskusi film. Semua itu harus diselaraskan dengan topic bahasan yang dipresentasikan.
Redifinisi terus cara presentasi kita. Sempurnakan dan terus pertajam cara menyampaikan materi bahasan agar menarik dan mudah dimengerti.
Fokus pada emosi audience. Presentasi harus menyentuk emosional audience sehingga bisa mempengaruhi “persepsi dan pola pikir” audience.
Olah, analisa dan kuasai benar materi presentasi dengan mantap. Ini untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam mendiskusikan materi tersebut.
Realisasikan keterkaitan materi dengan tujuan bahasan yang ingin dicapai. Presentasi merupakan seni dalam mengkombinasikan berbagai materi untuk meyakinkan audience.
Motivasi diri untuk merealisasi komitmen sebagai dosen untuk menyiapkan alumni agar meyakinkan calon pengguna alumni.

Panduan presentasi yang benar

Prinsip utama presentasi yang sukses, ialah bagaimana “presenter” bisa mempengaruhi pemikiran audience. Bagaimana ia mampu mengkomunikasikan idenya secara unik dan berbeda dengan orang lain.
Aada beberapa hal yang bisa dipakai sebagai panduan untuk menyiapkan presentasi agar menarik, inspiratif sehingga meraih sukses. Panduan tersebut antara lain mencakup hal berikut (Graham, 2006, p. 8-13): [4]

Materi disiapkan agar menarik. Dalam waktu 60 detik pertama, presentasi harus inspiratif dan menstimulasi pemikiran pendengarnya. Di-awal, presentasi kita harus jelas, menarik dan menumbuhkan inspirasi tak terlupakan, karena sangat bermanfaat bagi audience. Ini berarti, pimpinan harus mengarahkan pemikiran audience, sejak awal.
Memberikan aspirasi audience. Ingat bahwa dalam presentasi, kita harus bisa meyakinkan auidience sebagai “konsumen” kita. Kita mengenali benar siapa mereka? Dari bagian atau divisi mana saja mereka ini? Apa yang menjadi perhatian atau kebutuhan mereka? Kita harus memfokuskan pada presentasi, apakah untuk memberikan informasi atau mendidik mereka? Tujaun presentasi kita harus jelas untuk memenuhi kebutuhan audience.
Pilih tema presentasi yang kuat, menarik. Materi dikemas dengan cermat, singkat dan jelas, agar mudah dicerna serta gampang di-ingat.
Materi presentasi harus focus pada kebutuhan audience. Presentasi bukan untuk menunjukkan kepiawaian diri kita. Tetapi untuk kepentingan audience.
Komunikasikan manfaat presentasi dengan benar. Apa manfaat materi yang diperlukan audience. Apa yang diharapkan mereka? Gali kebutuhan dan keingian audience sehingga kita bisa mempresentasikan materi yang bermanfaat bagi mereka.
Selaraskan materi dengan pola pikir audience. Gunakan fakta, realita – berupa data kuantitatif dan kualitatif – yang terkait langsung dengan kebutuhan audience.
Lakukan presentasi yang menarik dan memotivasi motivasi audience. Komunikasikan informasi penting dan akurat. Bantu audience memahami materi presentasi kita. Tampilah deengan bersemangat. Gunakan kosakata dan bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti audience.
Sesuaikan materi presentasi dengan kebutuhan pribadi audience. Lakukan presentasi secara dialogis. Usahakan kita berbicara langsung dengan setiap pribadi audience. Lengkapi dengan fakta, informasi, statistic, data dan grafik yang terkait dengan kebutuhan audience.
Ajak audience untuk ikut aktif mengemukakan pendapat. Apakah mereka memahami semua yang kita presentasikan? Atau ada beberapa pihak yang belum memahami beberapa materi presentasi? Ajukan peranyaan atau gunakan sedikit jokes untuk memancing animo bertanya.
Usahan agar presentasi terus mengalir dengan lancar. Kapan kita perlu mempercepat, memperlambat atau mengulang materi tertentu? Gunakan visual presentation, Power-point yang menarik, ringkas dan jelas. Jangan terlalu kompleks. Atus waktu presentasi dengan cermat, tepat waktu sesuai kesepakatan bersama.
Siapkan “hard copy” untuk para audience. Jangan sampai audience tidak menyimak materi presentasi. Beri audience, garis-besar presentasi.
Presentasi harus menarik dan menghibur. Presentasi seperti halnya pertunjukan yang menyenangkan.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, tim Capital Edge memilih tema “Sex at work”. Mereka berusaha mengetengahkan pola hubungan kerja yang terkadang menyangkut masalah kehidupan seksual. Mereka mengganggap tema tersebut cukup penting. Mereka berusaha untuk mempresentasikan dengan baik. Presentasi tim Capital Edge, akhirnya mendapai nilai 6,68.
Dilain pihak, tim Excel Corporation memilih tema “Stand out how to make your mark”. Mereka lebih memfokuskan pada bagaimana caranya menentukan “sasaran” dengan benar. Presentasi tim Excel, sangat menarik dan menumbuhkan partisipatif aktif audience. Tim Excel dinilai lebih baik, lebih hidup suasana klasnya serta tampak lebih dinamis. Hasil presentasi tim Excel, mendapat nilai 7,07. Mereka memenangi perlomabaan tersebut (Jakarta, September 20, 2007).


[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy Execution and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] Nannette P. Napier & Roy D. Johnson (2007): “Technical Projects: Understanding Teamwork Satisfaction In an Introductory IS Course”; Journal of Information Systems Education; West Lafayette: Sprin 2007, Volume 18, Issue 1; p.39 – 39.

[3] Bianey C. Ruiz Alloa & Stephanie G. Adams (2004): “Attitude toward teamwork and effective learning; Team Performance Management. Bradford: Volume 10, Issue 7/8, p. 145.
[4] John R. Graham (2006): “Making A Better Presentation Than Anyone Else”; The American Salesman. Burlington: March 2006. Volume 51, Issue 3; p. 8-13.

Perubahan Pola Pikir Secara Mendasar

Perubahan pola pikir secara mendasar
Oleh Roesanto [1]


Kemajuan tekhnologi telah mengubah kehidupan masyarakat kita secara fundamental. Telah memaksa semua pimpinan untuk mengubah pola pikirnya. Kita memang harus berubah, apabila kita ingin mempertahankan kelangsungan hidup organisasi yang kita pimpin. Ini membutuhkan keberanian. Menuntut kejujuran semua pihak dalam menghadapi realita kehidupan.
Situasi persaingan, sudah semakin kompleks. Semua aktib=vitas bisnis, sudah mendunia. Kita tidak bisa menghalang-halangi institusi klas dunia agar tidak masuk kepasar Indonesia. Kini, pemain baru didunia pendidikan Luar Negeri, sudah mulai masuk ke Indonesia. Ini erupakan tantangan sekaligus peluang bagi kita yang cepat beradaptasi. Peka dan cerdik dalam melakukan berbagai pembenahan.
Dalam menghadapi persaingan yang sudah mendunia, setiap Perguruan Tinggi harus memahami posisi mereka dalam menyiapkan kader pimpinan bangsa. Dimana, untuk memahami dampak globalisasi, kita bisa menganalogkan dinamikanya bagaikan suatu bangunan bertingkat tiga, sebagai berikut (Ibarra-Colado, 2007, p.117-138): [2]

The upper floor dimana berada “major world business”. Mereka terdiri dari “transnational corporation, high technology and innovation, hyper-flexibility”, dan “virtual arrangement corporation” yang bekerja berbasis jejaring tekhnologi serta “real-time relation”, didukung “knowledge labor” yang bekerja secara tim dalam melakukan berbagai inovasi. Prusahaan klas dunia ini berbasis “academic capitalism” serta menerapkan “new forms of production knowledge”.
The ground-level floor mencakup perusahaan klas dunia yang menjalankan praktek operasional “just-in-time flexibility, zero inventory” dan memiliki “excellence high skilled and well-paid workers”. Kelompok perusahaan ini merupakan segmen pasar yang harus digarap Perguruan Tinggi yang harus bisa menyiapkan tenaga sebagai pendukung “knowledge factories” tersebut.
The bottom floor berupa bangunan “basement” yang umumny berfungsi untuk tempat semacam “gudang”. Umumnya basement agak tersembunyi, gelap dan lembab. Dimana berada perusahaan “tradisional” yang sulit mengadaptasi perubahan. Perusaaan di level ini, akan mudah tersingkir oleh kemajuan dan perubahan jaman.

Menyadari realita tersebut, diharapkan setiap Perguruan Tinggi memahami peran dan kontribusinya. Tahu apa yang harus dibenahi sehingga mampu menunjang penyiapan kader bangsa dalam menghadapi persaingan yang terus berubah dengan cepat.
Persaingan yang semakin kompleks, memaksa banyak Perguruan Tingg (PT) untuk memilih strategi yang bisa meningkatkan “efficiency” dan “effectiveness” operasional mereka. Rasanya upaya rekayasa-ulang proses operasional PT menjadi salah satu alternative yang bisa dimanfaatkan untuk membenahi “productivity, cost control” dan “asset management”.
Proses rekayasa-ulang merupakan upaya proses “merancang-ulang” dan “melakukan pengorganisasian-ulang” aktivitas operacional PT untuk tidak sekedar mempertahankan “status quo” semata. Sasaran utama proses rekayasa-ulang ialah untuk melakukan “terobosan” dalam membenahi proses operasional PT. Proses rekayasa-ulang secara organisasi berbasis pada interaksi dua faktor, yakni (Sohail et al., 2006, p.279):[3]

Total customer satisfaction
Effective and efficient internal process.

Perlu dicatat bahwa keberhasilan organisasi ddengan melakukan pendekatan “inside-out” ialah melalui “commitment” dan “dedication” pimpinan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan konsumen. Pendekatan “inside-out” ini, dikenal sebagai upaya “managing employees”. Dimana merupakan upaya bukan semata membuat mereka nyaman bekerja, tetapi pimpinan harus mampu “managing” pegawai dengan sikap perilaku yang tepat agar PT bisa bersaing di pasar dengan lebih baik.
Pmebenahan operasional Perguruan Tinggi, perlu ditopang dengan penerapan “Student Relationship Management atau SRM. Sebab Perguruan Tinggi yang mampu beroperasi dengan prima, umumnya memiliki “outstanding reaserchers” dan “excellent students”. Dimana, konsep SRM, merupakan aktivitas “business relationship” antara Perguruan Tinggi dengan mahasiswa mereka. Relationship ini dilakukan secara holistis dan sistematis dalam menangani beragam kepentingan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Orentasi stratejik SRM mengacu pada upaya meningkatkan “customer satisfaction, customer loyalty”, serta berbagai “benefit” yang menguntungkan hubungan antara PTs dengan mahasiswa. Konsep SRM – bertumpu pada konsep CRM – yang mencukup tiga komponen “analytical, operasional” dan “collaborative CRM” yang dilakukan kedua belah pihak (Hilbert et al., 2007, p. 204-220). [4]
Harus disadari bahwa pengeluaran untuk proses belajar mengajar dan kegiatan penelitian, akhir-akhir ini terus meningkat. Sementara subsidi Pemerintah atau Yayasan cenderung tetap, kalau tidak malahan terus menurun. Apakah semua pengeluaran untuk kedua kegiatan tersebut, terpaksa dibebankan kepada mahasiswa? Atau harus dilakukan alternative penggalangan dana dari sumber lain?
Untuk itu harus dicari solusi yang andal agar bisa dilakukan upaya “fund raising”. Kegiatan ini harus bisa melibatkan mahasiswa dan alumni PT. Disinilah pentingnya SRM bagi semua pihak yang terlibat. Sebab efektivitas kegiatan SRM yang padu, akan bisa meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dengan mengentegrasikan para alumni beserta pengalaman parktek mereka didalam kegiatan “lectures”. Melalui pendekatan SRM yang intens, Universitas bisa mendiskusikan serta manganalisis kasus realitas di kehidupan nyata. Pembenahan ini akan meningkatkan citra Universitas yang akhirnya mengarah pada “peluang kerja prospektif” didunia nyata bagi calon alumni Universitas. Pada akhirnya semua itu akan meningkatkan jumlah peminat yang ingin masuk ke Universitas tersebut.
Untuk menerapkan SRM secara efektif, harus konsiten dengan layanan yang di-tawarkan Universitas. Dimana karakteristik layanan Universitas mencakup dua dua karakteristik berikut (Hilbert et al., 2007, p. 204-220):

Layanan yang kasat-mata dan yang tan-wujud. Dimana layanan tan-wujud, sangat menentukan kualitas Universitas – berupa atribut “confidence” dan “expert knowledge” yang dimilikinya.
Kegiatan Universitas yang terintegrasi dengan aktivitas eksternal secara padu. Sebab aktivtas mahasiswa dengan segala pengalamannya dilapangan, sangat mempengaruhi kualitas proses belajar-mengajar Universitas. Karena Semarang ini – kualitas pendidikan di Universitas – sangat ditentukan oleh kemampuan mahasiswa untuk memantapkan “intellectual capability” serta “learning motivation” mereka.

Sayangnya “life cycle” SRM, berhenti begitu mahasiswa berhasil menyandang gelar mereka. Begitu lulus, seolah-olah, pihak Perguruan Tinggi tidak lagi merasa berkewajiban untuk menggalang atau mempertahankan SRM secara kontinu. Tak heran kalau banyak Perguruan Tinggi yang tidak memiliki dokumentasi berapa prosen alumni mereka yang “cepat mendapatkan pekerjaan” dan berapa “prosen” yang bernasib kurang baik, sulit mencari pekerjaan. Siapa yang peduli? (Jakarta, September 19, 2007).



[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy Execution and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] (Eduardo Ibarra-Colado (2007): “Future University in Present Times: Autonomy, Governance and The Entrepreneurial University”, Management Revue. Mering. Vol. 18, Iss. 2; pg. 117-138.
[3] M. Sadiq Sohail, Salina Daud & Jegatheesan Rajadurai (2006): “Restructuring a higher education institution; A case study from a developing country”; The International Journal of Educational Management. Bradford, Vol. 20, Iss. 4; pg. 279
[4] Andreas Hilbert, Karoline Schönbrunn & Sophie Schmode (2007): “Student Relationship Management in Germany - Foundations and Opportunities”; Management Revue.Mering: Vol. 18, Iss. 2; pg. 204 – 220.

Senin, 17 September 2007

Esensi penentuan sasaran yang benar

Esensi penentuan sasaran yang benar
Oleh Roesanto [1]



"A man without a goal is like a ship without a rudder." Thomas Carlyle.

"People with goals succeed because they know where they're going." Earl Nightingale

"Goals provide the energy source that powers our lives. One of the best ways we can get the most from the energy we have is to focus it. That is what goals can do for us; concentrate our energy." Denis Waitley

"Discipline is the bridge between goals and accomplishment." John Rohn

Mencermati kata-kata bijak diatas, jelas kiranya bahwa keberhasilan akan mudah kita realisasi, kalau tahu benar sasaran kita bersama. Diana sasaran yang spesifik jelas, akan menjadi sumber kekuatan dan penyeangat daya juang kita. Dan ini memutuhkan disipin dan komitmen semua pihak.
Menyadari hal tersebut, dalam menetapkan sasaran dengan benar, haruslah memenuhi prasyarat “SMARTEST” berikut (Christenbury & Koze, 2007): [2]

Specific, harus spesifik berapa jumlah target mahasiwa, kebutuhan anggaran serta sumber daya yang didiperlukan demi kelancaran operasional.
Measurable, harus terukur dalam jumlah yang jelas.
Action-oriented, dijabarkan secara operacional untuk bisa di-tindak-lanjuti oleh semua jajaran organisasi
Realistic, nalar dan masuk akal sesuai kapasitas, potensi dan sumber daya yang realita dimiliki organisasi.
Time and resource-constrained, batas waktu realisasi sasaran, jelas dengan memperhatikan keterbatasan “resource” yang dimiliknya.
Engaging, menarik minat semua jajaran sehingga mereka bersemangat dan terotivasi untuk merealisasinya – karena didukung “enforcement” dengan reward and punishment systems yang konsisten dan objective.
Shifting the goals, sasaran selalu dikaji ulang agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan yang terus terjadi akibat perkembangan persaingan yang semakin kompleks.
Team effort, semua jajaran bersatu padu dengan komitmen tinggi untuk bersama sama merealisasi sasaran yang telah disepakati

Setelah, berhasil menentukan sasaran yang memenuhi prasyarat “SMARTEST”, langkah selanjutnya yang harus dilakukan antara lain ialah (Christenbyry & Koze, 2007):

Menjabarkan sasaran kedalam tahapan yang jelas untuk mempermudah eksekusi dan implementasinya.
Memacu motivasi dan kesepakatan semua pihak.
Mengkoordinasi serta memonitor pelaksanaan kegiatan untuk merealisasi sasaran agar tetap berjalan di alur yang telah ditetapkan bersama.
Terus dilakukan analisa ulang secara berkala, sehingga mudah dilakukan berbagai penyesuaian apabila terjadi perubahan yang signifikan.

Sayangnya, sasaran yang telah digariskan organisasi, kerapkali kurang dikomunikasikan dengan baik. Tanpa komunikasi yang jelas dalam menjabarkan sasasarn kedalam aktivitas nyata, ini bisa mengakibatkan tidak adanya keterlibatan dan komitmen semua pihak. Masalah yang muncul ialah adanya kesenjangan dalam mengeksekusi proses kerja untuk merealisasi sasaran tersebut.
Akibatnya, jajaran pimpinan “front-liner” yang langsung menghadapi situasi di-lapangan, tidak mengetahui benar apa saja sasaran yang harus direalisasinya. Mereka tidak diberi panduan untuk menentukan taktik dan strategi dalam merealisasi sasaran tersebut. (Jakarta, September 17, 2007).




[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy Execution and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] Paul Christenbury & John Koze (2007): “Steps for Successful Goal Setting and Achievement & The SMARTEST Goal Setting Techniques”; www.topachievement.com , September 17, 2007

Jumat, 07 September 2007

Menyiapkan Kader Pimpinan

Menyiapkan Kader Pimpinan
Oleh Roesanto [1]

Salah satu karakter menonjol seorang “leader” sejati ialah kemampuannya menciptakan budaya terbuka untuk berani menerima kesalahan. Dia realistis apabila menghadapi kesalahan atau kegagalan. Dia akan menerima kegagalan dengan penuh sikap mental positip untuk selanjutnya segera mengkoreksi kegagalan tersebut. Dia pantang menyerah terhadap kegagalan. Dia tidak takut menghadapi itu. Sebab ia yakin bahwa kegagalan merupakan tantangan sekeligus peluang. Dia tidak pernah patah semangat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Semangat dan keuletan sebagai “leader”, menumbuhkan nuansa positip iklim kerja unit atau organisasi yang di pimpinnya.
Seorang “leader”, mampu menumbuhkan semangat kerja pegawai untuk berani menentukan keputusan yang beresiko, secara pruden. Dia, mendorong pegawai untuk berani melakukan eksperimen, mencari peluang dan melakukan berbagai terobosan. Dia bisa menumbuhkan percaya diri pegawai, sesuai potensi dan tanggung jawab masing-masing.
Apabila terjadi kesalahan yang dilakukan pegawai, dia langsung membantu membenahinya. Karena dialah yang akontabel terhadap kelancaran tugas. Dalam menghadapi kesalahan dan kegagalan, dia selalu bersikap positip, untuk segera membenahinya. Semua itu dilakukan untuk menciptakan kreativitas sehingga jiwa entreprenership semua jajaran organisasi, berkembang subur.
Harus diakui, tanpa kita mengalami kesalahan atau kegagalan, kita tidak akan pernah meraih sukses besar. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Melalui berbagai kegagalan, kita banyak memperoleh pelajaran. Lama-kelamaan, kita akan semakin peka, jeli dan cerdik dalam menangani berbagai penugasan.
Kesalahan, kerapkali tidak bisa dihindari.Seorang entrepreneur tidak pernah percaya bahwa hanya ada satu jawaban untuk berbagai masalah. Satu jawaban benar, rasanya hampir tidak pernah ada. Sebab, selalu ada beberapa alternative jawaban yang bisa diterapkan untuk memecahkan masalah.
Yang terpenting dalam menghadapi kegagalan atau masalah, terletak pada kemampuan kita memformulasi respons kita dalam mengeksekusi pembenahan masalahnya. Kita harus sudah puas dengan hasil kerja yang prima. Hasil sempurna hanya bisa dilakukan oleh Tuhan.
Lakukan eksekusi apabila Anda merasa benar. Tetapi sadarilah bahwa kita bisa juga salah memperhitungkan. Terimalah kemungkinan terjadi kesalahan sehingga kita gagal merealisasi tugas. Kesadaran bahwa kita tidak bisa seratus persen benar setiap waktu, memberi kebebasan kita untuk mencoba cara yang kita kira terbaik untuk dijalankan pada suatu saat tertentu. Sudah tentu, kita perlu meyakini bahwa sutau ketika, kita merasa benar dalam melakukan tugas. Hanya saja, kita harus menyadari bahwa kita tidak selalu benar. janganlah takut menghadapi kegagalan. Yang terpenting, kita tidak boleh patah semangat.
Anda ingin berbuat benar atau Anda ingin menciptakan suasana kerja yang menjadi landasan untuk meraih sukses? Membangun perusahaan yang berhasil, sama hanlnya dengan perjuangan menghadapi peperangan. Kita harus teguh memegang sasaran yang ingin kita capai. Kita harus terus maju untuk menggapai sasaran tersebut.
Sikap bertahan, defensive atau mempertahankan stsuts quo, hanya menghabiskan waktu, tenaga dan biaya saja. Belajarlah dari kesalahan atau kegagalan dan terus maju. Terimalah kritik yang konstruktif dari berbagai pihak. Dan jangan lupa selalu mengucapkan terima kasih kepada yang memberi kritik tersebut. Demikian juga, berikanlah bantuan, saran untuk mereka yang sedang mengalami kesulitan.

Menyiapkan “leader” berkualitas lebih baik.

Sejalan dengan perkembangan persaingan yang semakin mendunia, rasanya setiap institusi – baik perusahaan maupun institusi pendidikan tinggi – harus menyiapkan kader pimpinan masa depan mereka. Untuk mendukung keberhasilan program pengembangan “leadership” beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, natara lain sebagai berikut: (Weinstein, 2006, p.31):[2]

· Ada keterlibatan langsung “top management”, secara nyata. Agar pengembangan pimpinan berhasil baik, pimpinan senior harus terlibat aktif dan men-support proses pengembangan pimpinan. Pengembangan kapasitas leadership merupakan aktivitas terkait dengan strategi bisnis. Bahkan faktor leadership merupakan “pelumas” eksekusi strategi yang berarti bagi keberhasilan perusahaan.
· Program pengembangan leadership diperlakukan sebagai proses, bukan sekedar kegiatan terfragmentasi. Pengembangan leadership, bukan hanya meningkatkan/memantapkan “leadership skills” atau kapasitas manager dalam mengarahkan kegiatan bisnis. Karena pengembangan leadership bukan sekedar peristiwa biasa, maka harus melibatkan pendekatan mentoring dan proses pembelajaran dari pengalaman kerja secara nyata.
· Pengembangan leadership harus menciptakan nilai tambah secara nyata bagi kepentingan perusahaan. Misalnya, meningkatkan profit, efisiensi dan produktivitas secara “SMARTER”. Kejelasan tujuan tersebut, mengharuskan manager untuk mengembangkan kerjasama lintas-fungsional. Manager harus menyadari bahwa pengembangan leadership, merupakan investasi agar mereka bisa meingkatkan kinerja pribadi secara lebih baik. Menekan tingkat turnover pegawai dan mampu bekerja lebih produktif.
· Terintegrasi secara stratejik. Ini berarti bahwa pelatihan leadership harus terkait dengan masalah bisnis perusahaan secara spesifik dan eksplisit. Pimpinan harus belajar bagaimana menjadi leaders lebih baik dalam memecahkan realita masalah bisnis yang dihadapi perusahaan

Self-Management and Character perlu dimantapkan

Faktor yang paling esensial harus dimiliki pimpinan agar meraih sukses dalam tugas ialah kemampuan “self-management” dan memiliki “character” yang kuat. Kedua faktor tersebut merupakan kapasitas pimpinan dalam menyelesaikan tugas tepat waktu; dalam memenuhi komitmennya; mengemukanan kebenaran; menepati janji; bertindak konsisten – satunya kata dengan perbuatannya; dan selalu memegang teguh akontabilitasnya terhadap apa yang dilakukan ataupun terhadap apa yang tidak dilakukannya.
Kemampuan “self-management” dan “character” yang kuat, pada dasarnya merupakan kemampuan (Brooks, 2006): [3]

Bersikap simpatik, tekun, ulet dan fokus
Bertindak jujur penuh integritas
Memenuhi semua komitemen yang dibuatnya
Bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan yang dilakukannya failures
Bekerja keras untuk memenuhi komitmen nya
Berperilaku pro-aktif, positip dan bersikap kreatif
Menjaga rasa saling percaya dan kerahasiaan dengan teguh

Ternyata semua kompetensi diatas hanya bisa kita pelajari melalui praktek nyata dalam kehidupan kita melalui interksi kita dengan “orang-tua, rekan, pengalaman, aktivitas pembelajaran klasikal, individu atau tim olah-raga serta pembelajaran dari-hari-ke-hari selama kita bertumbuh. Semua itu sulit kita sulit mendapatnya dari bangku sekolah atau pelatihan managerial. Pengalaman hidup kitalah yang akan mematangkan kompetensi yang kita butuhkan itu.
Apabila kita ingin belajar menjadi individu yang lebih efektif, kita harus menguasai keterampilan: Goal setting; Time management; Planning; Listening, and Scheduling (Brooks, 2006).
Apabila kita tidak menguasai faktor esensial tersebut – sekalipun kita baik dalam “prospecting, selling, menguasai product knowledge dengan baik, akhirnya diapun akan mengalami kegagalan. Dia akan mengalami kegagalan ditinjau dari perspektif atasan dan konsumen. Apa arti semua ini bagi kita?

Kita lebih mengkhawatirkan etika kerja pribadi, cara menyelesaikan tugas dan komitmennya ketimbang mencermati kemampuan kerja lainnya.
Membuat project improvement terbesar untuk kepentingan sendiri
Jujur pada diri sendiri begitu kita menilai kemampuan untuk memenuhi janji, untuk menyelesaikan tugas dan dalam menerima responsibilitas-nya
Mememenuhi kewajiban yang belum pernah kita buat untuk kepentingan setiap orang
Menjadikan self-management menjadi kebiasaan yang terobsesi untuk komit terhadap proses, penyelesaian serta kerjasama dalam penugasan.

Bekerja keraslah untuk semua itu. Belajarlah melatih disiplin diri. Terus berusaha untuk mampu manage diri sendiri. Tanpa kemampuan “self management” rasnya kita tidak akan mampu manage orang lain.

Kriteria keberhasilan bisnis:

Perusahaan sekarang ini sangat membutuhkan kader pimpinan yang berkualitas. Tidak heran, kalau proses seleksi calon pegawai atau staff baru diberbagai perusahaan berjalan rumit. Sebab, mereka mencari kader pimpinan yang akan menghadapi situasi bisnis yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Mereka membutuhkan pimpinan yang mampu mengeksekusi kegiatan organisasi dengan karakteristik sebagai berikut:

Memiliki semangat dan niat besar dalam memantapkan profesi yang ingin dikuasainya. Semangat dan entusiasme pribadi merupakan kunci penting untuk meraih keberhasilan di-setiap penugasan yang di percayakan kepadanya. Hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa sub-conscious atau bawah sadar manusia 99% sangat mewarnai pola pikirnya. Hasrat dan semangat manusia merupakan kunci yang bisa membuka bawah sadar manusia dan mentransformasikan dari kemampuan pikir rerata menjadi genius. Apabila anda tidak menyenangi apa yang anda lakukan, anda tidak akan pernah mampu berprestasi dengan baik. Apabila anda menghabiskan sebagian besar waktu anda dalam profesi anda, kehidupan anda tidak akan bisa menyenangkan kalau dibanding dalam menjalankan profesi yang anda kuasai benar
Seorang profesional, umumnya memiliki cirri khas seperti, misalnya:

a. Berhasil sebagai eksekutif yang handal. Ia mampu berkontribusi secara konkret dalam menunjang keberhasilan bisnis. Ia memiliki ketajaman analisa, dan menyadari bahwa kualitas managerial talents-nya sebagai profesional bisa menjadi motor penggerak dalam meraih keberhasilan.
b. Memiliki pola kepemimpinan dan talenta prima sehingga mampu menyelesaikan mengarahkan sekaligus mengendalikan resources perusahaan sesuai target yang telah disepakati dengan menggalang cross-functional teamwork seluruh jajaran manajemen secara baik dan harmoni.
c. Keberhasilan diraah, karena (1) Ia memiliki skills yang diperoleh dari pengalaman dengan dukungan attitude (sikap mental atau pola pikir) positip dalam memahami knowledge. (2) Ia sangat realistis dalam menyikapi situasi bisnis. Ia memiliki imajinasi yang baik namun sangatlah praktis. (3) Ia memiliki kepercyaan diri atau confidence. Kepercayaan dirinya berkembang sehingga mampu mengembangkan, mempertajam, mengembangkan serta memantapkan ketrampilan praksisnya

Akhli dibidang bisnis tertentu secara spesifik. Keakhlian dibidang bisnis – pemasaran atau operasional midsalnya – menjadi landasan baginya dalam memantapkan profesi-nya. Setelah itu ia terus mengembangkan untuk memperluas perspektif bisnis, sehingga memahami konspe bisnis secara terintegrasi. Ia tahu “apa yang ditawarkan perusahaan”; “siapa target market untuk produk layanan yang ditawarkan; sekaligus memahami “bagaimana proses operasional dijalankan secara terintegrasi.

Menguasai pengetahuan bahasa bisnis secara benar. Sebagai pimpinan, memang harus tahu “Apa yang ditawarkan”. “Siapa saja yang menjadi target market perusahaan”. “Bagaimana proses bisnisnya”. Siapa pesaing-pesaing yang harus dicermati. Siapa saja pemasok yang menjadi mitra sejati perusahaan.

Memiliki memiliki keterampilan entrepreneur. Sebagai pimpinan, kita harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkunag bisnis yang terus berubah dengan cepat. Kemampuan mengadaptasi dan mengarahkan perubahan sesuai tuntutan bisnis, merupakan faktor penting sebagai vasis keberhasilan. Pimpinan memang harus mampu mencermati sekaligus memanfaatkan peluang bisnis dengan jelai. Harus disadari bahwa aktivitas bisnis dipengaruhi oleh aturan main yang seyogyanya kita pahami sepenuhnya atau 100% kita pahami benar. Apabila kita mampu menyesuaikan diri – karena kita berani mengambil resiko dalam mencerkmati peluang bisni, kita akan mampu meraih sulses. Apabila kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, kita akan mengalami kegagalan. Untuk meraih sukses dalam bisnis, kita harus memahami prinsip bisnis dan harus bisa menyesuaikan dengan prinsip tersebut.

Konsep bisnis harus diperjelas

Dalam menjalankan bisnis, banyak orang tidak tahu “What business are they in”. Mereka kurang memahami “Apa” yang mereka tawarkan sebenarnya? “siapa” konsumen mereka? dan “Bagaimana” proses mengeksekusi bisnis mereka?
Misalnya, apa yang dijual oleh “supermarket” dan “hypermarket”? Pada dasarnya mereka tidak menjual produk kepada para konsumen, tetapi mereka “memberikan layanan menarik” agar konsumen mendapatkan “benefit” berpengalaman belanja yang menyenangkan bagi masyarakat pembeli.
Disamping itu mereka juga menawarkan layanan kepada para produsesn atau pemasok dengan menyediakan “trade promotion area”. Para produsen dan pemasok membayar sewa untuk “displays, promotions, advertising, discount dan berbagai program kreatif yang dirancang supermarket atau hypermarket”.
Pasar yang sudah semakin tersegmentasi secara luas, membutuhkan aktivitas bisnis yang terspesialisasi. Pasar semacam ini, tidak bisa dilayani oleh produsen yang cenderung menjual semua produk secara general. Dalam kondisi ekonomi yang makin mendunia, perusahaan harus menangani bisnis yang lebih terfokus pada segmen-segmen tertentu, bahkan pada ceruk pasar yang spesifik, apabila ingin bertumbuh dengan baik. Dengan menghadapi perdagangan bebas perusahaan harus menspesialisasi diri (Ries, 1996, p.25). [4]
Globalisasi bisnis mendorong perusahaan untuk menspesialisasi diri. Wajarlah kalau perusahaan besar langsung mempertajam unit bisnisnya agar memiliki SBU tersendiri dalam menghadapi persaingan. Spesialisasi dengan pembentukan unit bisnis memang membutuhkan pengorbanan. Tujuannya untuk me-revitalisasi perusahaan beserta unit bisnisnya dengan baik.
Pengembangan unit bisnis atau divisi yang mandiri mengarahkan upaya mengkonsentrasi diri pada bidang bisnis tertentu. Konsentrasi merupakan upaya kunci untuk meraih keberhasilan ekonomi. Hasil usaha maksimal menuntut pebisnis untuk mengkonsetrasikan kegiatannya pada kegiatan bisnis yang dikuasainya benar untuk meraih keuntungan optimal.
Ada lima langkah penting sebagai formula pendukung keberhasilan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan yang mencoba memperkokoh bisnisnya di “ceruk pasar yang sangat spesifik’ seperti misalnya Toys “R” Us yakni (Ries, 1996, p. 61-72):

1. Narrow focus. Langkah ini yang tersulit karena “counterintuitive”. Umumnya untuk meningkatkan keuntungan bisnis, orang berusaha melakukan ekspansi produk yang ditawarkan. Pertumbuhan bisnis akan meningkat kalau kita lebih banyak menawarkan produik layanan. Tapi kenyataannya bisnis yang terfokus gampang menumbuhkan image bahwa perusahaan menguasai bisnisnya, Kepercayaan konsumenpun meningkat.

2. Stock in depth. Department store menjelang natal menyediakan stok mainan anak-anak sekitar 3000 unit. Toys “R” Us setiap minggu menyediakan stok mainan sekitar 18.000 unit mainan. Ragam produk mainan juga lengkap. Pengadaan stok seperti ini bisa menekan biaya pembelian. Kelengkapan stok ini jugalah yang menempatkan posisi Toys “R” Us bisa mendominasi pasar kategori produk mainan anak anak.

3. Buy cheap. Retailer umumnya meraih keuntungan karena menjual produk, tetapi Toys “R” Us meraih untuk karena membeli produk (buying product). Mereka membeli sekitar seperlima dari seluruh bisnis mainan anak anak, mereka bisa meleverage harga beli produk. Mark-up yang diperoleh Toys “R” Us mencapai sekitar 45%, sekalipun mereka ergantung pada pemasok.

4. Sell cheap. Dengan membeli dan menjual murah, Toys “R” Us bisa menangkal para pesaing.

5. Dominate the category.Bertumpu pada langkah langkah tersebut, Toys “R” Us mampu mendominasi pasar di kategori produk mainan anak anak.




[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta (Nop 1983-March 2007), HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] Margery Weinstein (2006): “Building a better leader”; Training; Minneapolis: February 2006. Volume 43, Issue 2, p.31.
[3] Bill Brooks (2006): “Self-Management and Character”; The American Salesman. Burlington. February 2006, February 2006.

[4] Al Ries (1996): Focus; The future of your company depend on it; Harper Business, 1996, p.18.

Kamis, 06 September 2007

Persaingan memacu perubahan

Persaingan memacu perubahan
Oleh Roesanto [1]


Merambahnya hypermarket Carrefour, membuat gerah banyak pihak. Sampai sampai beberapa petinggi Indonesia, menghibau agar pemerintah segera membuat peraturan untuk memproteksi “pasar tradisional”. Tampaknya mereka tidak relajar dari pengalaman selama ini.
Rasanya, pebisnis – besar dan kecil – tak membutuhkan proteksi. Mereka lebih menginginkan pola pemerintahan “yang bersih” dari segala bentuk “korupsi”. Banyak petinggi negeri, harusnya langsung melihat dilapangan, apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut pengamatan secara acak – berdasarkan observasi, beberapa dialog dan pemantauan dilapngan – tampak jelas bahwa perkembangan pasar tradisioanal terhambat oleh ulah para penguasa setempat – baik formal maupun non formal. Apabila, pasar tradisional di “manage” dengan gaya Carrefour, saya percaya mereka bisa bersaing. Masalahnya pasar tradisional, hanya di-manage se-adanya. Bahkan kerap di obok-obok oleh penguasa setempat – melalui berbagai pungutan.
Coba kita cermati, perbedaan perlakuan hypermarket dengan pasar tradisional berikut, maka kita akan mulai melihat dimana akar permasalahanya.

Pasar Tradisional
Hypermarket
· Pedagang dipungut sewa tempat atau beli tempat dagang. Untuk pasar ukuran kecil, harga beli tempat dagang bisa mencapai puluhan juta – tergantung luasnya.
· Setiap hari dikutip biaya kebersihan, kemananan dsb. bisa mencapai Rp. 5.000,- sampai Rp. 20.000,-.
· Tempat dagang tak teratur, kotor, bau dan kurang nyaman.
· Mereka berdagang mulai jam 05.00 – 11.00 WIB – tanpa di manage dengan baik.
· Pihak penguasa tidak me-manage pasar tradisional – mereka membiarkan kegiatan pasar secara alami – namun ikut mengambil desempatan demi kepentingan pribadi
· Untuk memasukkan produk di hypermarket, setiap pemasok dikenakan (1) Listing fee – sekitar Rp.3 – 4 jutaan. (2) Biaya space di góndola per SKU atau stock keeping unit sekitar Rp.2.000,- per periode tertentu.
· Aktivitas bisnis hypermarket mulai jam 10.00 – 22.00 WIB – bahkan terkadang di waktu tertentu bisa sampai jam 24.00 WIB.
· Tempat dagang bersih, aman, rapi dan menyenangkan serta di manage dengan baik.
· Dibantu dengan berbagai promosi setiap hari sebagai “traffic builder” untuk meningkatkan jumlah consumen datang ke hypermarket.

Bagaimana mungkin pasar tradisional bisa bersaing dengan baik, kalau aktivitas mereka tidak diberi pendukung apa-apa, malah menjadi lahan atau “sapi perah” banyak pihak yang merasa memiliki kekuasaan di-area pasar tersebut. Sementara hypermarket di manage dengan rapi dengan memperhatikan kepentingan konsumen dan pemasok. Sebab kepentingan mereka bersama hypermarket telah saling memberikan “benefit” demi kemajuan bersama.
Harus disadari bahwa persaingan telah membuat bisnis semakin efisien. Sebaliknya proteksi, membuat kegiatan bisnis ataupun manajemen justru makin tidak efisien. Coba kita simak saja aktivitas layanan KA Parahyangan atau Argo Bromo yang melayani trayek Yakarta Bandung pulang pergi. Karena di proteksi atau diatur oleh pemerintah, Perumka tidak sigap menghadapi persaingan tarnsportasi Jakarta Bandung dan sebaliknya dengan dioperasikannya Jalan Tol Cipularang.
Penumpang KA Parahyangan dan Argo Bromo, bisa menurun sekitar 60% termakan oleh layanan travel Yakarta Bandung PP dari Xtrans, Cipaganti dan Baraya misalnya. Demikian juga layanan paket antaran PT Pos Indonesia untuk Jakarta Bandung, bisa banyak termakan oleh layanan travel.
Perhatian juga, semua layanan perusahaan yang diproteksi apakah mampu bersaing dengan yang lain. Bagaimana layanan jalan toll, tanpa meningkatkan kualitas layanan, langsung menaikkan harga, seolah itu hak mereka.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 48 ayat 3, menyatakan bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif jalan tol dilakukan 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi. Namun, justru regulasi semacam inilah yang layak disebut sebagai bentuk legalisasi pemerasan, karena lebih merupakan bentuk kolusi tripartit antara pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pengelola atau bahkan investor jalan tol (Tempointeraktif, 2007).[2]
Joko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum, menandaskan bahwa besaran kenaikan tarif tol bergantung pada data inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kalau inflasi 20 persen, ya, tarif jalan tol naik 20 persen. Kenaikan tarif jalan tol sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan karena tarif tol di Indonesia paling murah di dunia.
Mengapa kenaikan tersebut, menuai banyak protes? Masyarakat Semarang merasakan sudah banyak membayar pajak STNK, namun layanan pemerintah semakin amburadul. Jalan makin macet. Tol pun bukan lagi sebagai jalan bebas hambatan tetapai jalan Tol alias “terus ora lancar”. Inilah salah satu contoh lagi, bahwa proteksi, membuat kita terlena bahwa persaingan saat ini menuntut kualitas layanan yang harus semakin baik.
Dalam menghadapi persaingan yang makin kompleks, kita harus mengubah diri dan beradaptasi dengan perubahan. Tanpa keberanian untuk berubah, pilihannya hanya ketinggalan pesaing dan tidak mampu bertahan. (Jakarta, Sepetember 12, 2007).



[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] Tempo interaktif (2007): “Tragedi Regulasi Jalan Tol”; Tempo Interaktif, Rabu, 04 Juli 2007 10:42 WIB