Rabu, 19 September 2007

Perubahan Pola Pikir Secara Mendasar

Perubahan pola pikir secara mendasar
Oleh Roesanto [1]


Kemajuan tekhnologi telah mengubah kehidupan masyarakat kita secara fundamental. Telah memaksa semua pimpinan untuk mengubah pola pikirnya. Kita memang harus berubah, apabila kita ingin mempertahankan kelangsungan hidup organisasi yang kita pimpin. Ini membutuhkan keberanian. Menuntut kejujuran semua pihak dalam menghadapi realita kehidupan.
Situasi persaingan, sudah semakin kompleks. Semua aktib=vitas bisnis, sudah mendunia. Kita tidak bisa menghalang-halangi institusi klas dunia agar tidak masuk kepasar Indonesia. Kini, pemain baru didunia pendidikan Luar Negeri, sudah mulai masuk ke Indonesia. Ini erupakan tantangan sekaligus peluang bagi kita yang cepat beradaptasi. Peka dan cerdik dalam melakukan berbagai pembenahan.
Dalam menghadapi persaingan yang sudah mendunia, setiap Perguruan Tinggi harus memahami posisi mereka dalam menyiapkan kader pimpinan bangsa. Dimana, untuk memahami dampak globalisasi, kita bisa menganalogkan dinamikanya bagaikan suatu bangunan bertingkat tiga, sebagai berikut (Ibarra-Colado, 2007, p.117-138): [2]

The upper floor dimana berada “major world business”. Mereka terdiri dari “transnational corporation, high technology and innovation, hyper-flexibility”, dan “virtual arrangement corporation” yang bekerja berbasis jejaring tekhnologi serta “real-time relation”, didukung “knowledge labor” yang bekerja secara tim dalam melakukan berbagai inovasi. Prusahaan klas dunia ini berbasis “academic capitalism” serta menerapkan “new forms of production knowledge”.
The ground-level floor mencakup perusahaan klas dunia yang menjalankan praktek operasional “just-in-time flexibility, zero inventory” dan memiliki “excellence high skilled and well-paid workers”. Kelompok perusahaan ini merupakan segmen pasar yang harus digarap Perguruan Tinggi yang harus bisa menyiapkan tenaga sebagai pendukung “knowledge factories” tersebut.
The bottom floor berupa bangunan “basement” yang umumny berfungsi untuk tempat semacam “gudang”. Umumnya basement agak tersembunyi, gelap dan lembab. Dimana berada perusahaan “tradisional” yang sulit mengadaptasi perubahan. Perusaaan di level ini, akan mudah tersingkir oleh kemajuan dan perubahan jaman.

Menyadari realita tersebut, diharapkan setiap Perguruan Tinggi memahami peran dan kontribusinya. Tahu apa yang harus dibenahi sehingga mampu menunjang penyiapan kader bangsa dalam menghadapi persaingan yang terus berubah dengan cepat.
Persaingan yang semakin kompleks, memaksa banyak Perguruan Tingg (PT) untuk memilih strategi yang bisa meningkatkan “efficiency” dan “effectiveness” operasional mereka. Rasanya upaya rekayasa-ulang proses operasional PT menjadi salah satu alternative yang bisa dimanfaatkan untuk membenahi “productivity, cost control” dan “asset management”.
Proses rekayasa-ulang merupakan upaya proses “merancang-ulang” dan “melakukan pengorganisasian-ulang” aktivitas operacional PT untuk tidak sekedar mempertahankan “status quo” semata. Sasaran utama proses rekayasa-ulang ialah untuk melakukan “terobosan” dalam membenahi proses operasional PT. Proses rekayasa-ulang secara organisasi berbasis pada interaksi dua faktor, yakni (Sohail et al., 2006, p.279):[3]

Total customer satisfaction
Effective and efficient internal process.

Perlu dicatat bahwa keberhasilan organisasi ddengan melakukan pendekatan “inside-out” ialah melalui “commitment” dan “dedication” pimpinan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan konsumen. Pendekatan “inside-out” ini, dikenal sebagai upaya “managing employees”. Dimana merupakan upaya bukan semata membuat mereka nyaman bekerja, tetapi pimpinan harus mampu “managing” pegawai dengan sikap perilaku yang tepat agar PT bisa bersaing di pasar dengan lebih baik.
Pmebenahan operasional Perguruan Tinggi, perlu ditopang dengan penerapan “Student Relationship Management atau SRM. Sebab Perguruan Tinggi yang mampu beroperasi dengan prima, umumnya memiliki “outstanding reaserchers” dan “excellent students”. Dimana, konsep SRM, merupakan aktivitas “business relationship” antara Perguruan Tinggi dengan mahasiswa mereka. Relationship ini dilakukan secara holistis dan sistematis dalam menangani beragam kepentingan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Orentasi stratejik SRM mengacu pada upaya meningkatkan “customer satisfaction, customer loyalty”, serta berbagai “benefit” yang menguntungkan hubungan antara PTs dengan mahasiswa. Konsep SRM – bertumpu pada konsep CRM – yang mencukup tiga komponen “analytical, operasional” dan “collaborative CRM” yang dilakukan kedua belah pihak (Hilbert et al., 2007, p. 204-220). [4]
Harus disadari bahwa pengeluaran untuk proses belajar mengajar dan kegiatan penelitian, akhir-akhir ini terus meningkat. Sementara subsidi Pemerintah atau Yayasan cenderung tetap, kalau tidak malahan terus menurun. Apakah semua pengeluaran untuk kedua kegiatan tersebut, terpaksa dibebankan kepada mahasiswa? Atau harus dilakukan alternative penggalangan dana dari sumber lain?
Untuk itu harus dicari solusi yang andal agar bisa dilakukan upaya “fund raising”. Kegiatan ini harus bisa melibatkan mahasiswa dan alumni PT. Disinilah pentingnya SRM bagi semua pihak yang terlibat. Sebab efektivitas kegiatan SRM yang padu, akan bisa meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dengan mengentegrasikan para alumni beserta pengalaman parktek mereka didalam kegiatan “lectures”. Melalui pendekatan SRM yang intens, Universitas bisa mendiskusikan serta manganalisis kasus realitas di kehidupan nyata. Pembenahan ini akan meningkatkan citra Universitas yang akhirnya mengarah pada “peluang kerja prospektif” didunia nyata bagi calon alumni Universitas. Pada akhirnya semua itu akan meningkatkan jumlah peminat yang ingin masuk ke Universitas tersebut.
Untuk menerapkan SRM secara efektif, harus konsiten dengan layanan yang di-tawarkan Universitas. Dimana karakteristik layanan Universitas mencakup dua dua karakteristik berikut (Hilbert et al., 2007, p. 204-220):

Layanan yang kasat-mata dan yang tan-wujud. Dimana layanan tan-wujud, sangat menentukan kualitas Universitas – berupa atribut “confidence” dan “expert knowledge” yang dimilikinya.
Kegiatan Universitas yang terintegrasi dengan aktivitas eksternal secara padu. Sebab aktivtas mahasiswa dengan segala pengalamannya dilapangan, sangat mempengaruhi kualitas proses belajar-mengajar Universitas. Karena Semarang ini – kualitas pendidikan di Universitas – sangat ditentukan oleh kemampuan mahasiswa untuk memantapkan “intellectual capability” serta “learning motivation” mereka.

Sayangnya “life cycle” SRM, berhenti begitu mahasiswa berhasil menyandang gelar mereka. Begitu lulus, seolah-olah, pihak Perguruan Tinggi tidak lagi merasa berkewajiban untuk menggalang atau mempertahankan SRM secara kontinu. Tak heran kalau banyak Perguruan Tinggi yang tidak memiliki dokumentasi berapa prosen alumni mereka yang “cepat mendapatkan pekerjaan” dan berapa “prosen” yang bernasib kurang baik, sulit mencari pekerjaan. Siapa yang peduli? (Jakarta, September 19, 2007).



[1] Copyright @ 2007 by Roesanto, Lecturer on Strategy Execution and Leaderships, Emeritus Lektor Kepala di Prasetiya Mulya Business School Jakarta, HP 0811833623, email address roesantoroesanto@yahoo.com atau roesanto@gmail.com atau roesanto@link.net.id
[2] (Eduardo Ibarra-Colado (2007): “Future University in Present Times: Autonomy, Governance and The Entrepreneurial University”, Management Revue. Mering. Vol. 18, Iss. 2; pg. 117-138.
[3] M. Sadiq Sohail, Salina Daud & Jegatheesan Rajadurai (2006): “Restructuring a higher education institution; A case study from a developing country”; The International Journal of Educational Management. Bradford, Vol. 20, Iss. 4; pg. 279
[4] Andreas Hilbert, Karoline Schönbrunn & Sophie Schmode (2007): “Student Relationship Management in Germany - Foundations and Opportunities”; Management Revue.Mering: Vol. 18, Iss. 2; pg. 204 – 220.

Tidak ada komentar: